Selasa, 07 April 2015

Renungan Malam

Bagaimana jika Allah tidak memberkati kita hari ini,karena kita tidak bersyukur hari kemarin,bagaimana jika Allah berhenti memberi petunjuk,karena kita membangkang hari ini,bagaimana jika kita tidak bisa melihat bunga indah bermekaran,karena kita menggerutu saat Allah menurunkan hujan,bagaimana jika Allah menarik Al-Qur'an,karena kita malas membaca dan mengamalkan nya.
Bagaimana jika Allah berhenti mencintai kita,karena kita berhenti mencintai dan menyayangi saudara kita,bagaimana jika Allah mengabulkan permintaan kita sesuai sikap kita terhadap panggilan adzan,,,sejenak pejamkan mata kita...
Andaikan semua itu terjadi,tak ada lagi bunga indah,tak ada lagi Al-Qur'an yang menentramkan hati kita,hidup tanpa cintaNya,tanpa petunjukNya,mari bersyukur sebelum kita kehilangan nikmat itu.

Rabu, 04 Maret 2015

Tahu Diri

Assalammualaikum wrwb.....

Pagi ini saya mencoba membaca pikiran saya sendiri, dari kejadian seminggu ini. Melalui perjalanan panjang menghadiri pesta pernikahan di Semarang, perjalanan yang dimulai dari Jogja hingga akhirnya saya kembali. Saya meyakini bahwa alam sadar kita membawa kita kepada hal-hal yang kita pikirkan. Tidak terasa bahwa apa yang terjadi sekarang merupakan apa-apa yang kita pikirkan diwaktu-waktu sebelumnya. Banyak kejadian yang dikira orang bahwa itu suatu kebetulan. Tapi, bagi sebagian lain berpendapat bahwa tidak ada kebetulan dalam setiap kejadian. Semua sudah ada yang mengatur. Allah lah yang Maha mengatur. Melalui tulisan #63 pada buku #NasehatDiri, saya kembali mencoba menasehati diri saya pribadi. “Kita melihat apa-apa yang kita yakini”, begitulah kalimat singkat ini yang penuh makna. Tidak jarang orang sekarang asyik mengasah batu, tetapi lupa mengasah pribadi melalui hati-nya. Seringkali orang juga lupa bahwa apa yang dilihat nya bukan lah apa yang menjadi standar suatu perbuatan. Gemerlap pesta misalnya, yang secara kasat mata, pandangan kita memperlihatkan suatu kemegahan, yang ujungnya adalah kelanggengan suatu perkawinan. Belum tentu...begitulah mata kadang menyiratkan kepalsuan. “Tahu diri” ini dua kata yang menghunjam dalam hati saya. Mudah-mudahan melalui tulisan ini bisa kita ambil manfaat nya...Aamiin Yaa Robbal ‘Alamin...

“Kita melihat apa-apa yang kita yakini”

Adakah kau percaya pada kesempurnaan penciptaan Tuhan, wahai diri? Bahwa Dia menciptakan segala tanpa cacat, tanpa kesia-siaan? Maka sungguh berani jiwa yang mengatakan dirinya biasa belaka, hidup layaknya air mengalir, mengikuti arus kian kemari. Sebab, dengannya ia katakan Tuhan lalai dalam penciptaan, Dia hadirkan makhluk tanpa tujuan.
Bukan, bukan tanpa tujuan, wahai diri. Pun buka untuk tujuan sederhana pula diri ini diciptakan. Tapi kusamnya cermin hati yang akibatkan diri ini lalai mendapati betapa banyak bekal yang sudah Dia siapkan untuk kita jalankan tugas besar itu. Demikianlah seringkali kita tak tahu diri, merasa tak berarti, padahal tugas besar tengah menanti.
Tahu dirilah, tahu diri. Tengoklah apa yang tampak dari dirimu,lalu hitung harganya. Tengoklah apa yang ada dalam jiwamu, lalu ukur kedalamannya. Sungguh kau bukanlah ciptaan yang sederhana, wahai diri.
Tapi jangan kau bayangkan tugas besar itu semata apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang. Bahwa kekayaan itu semata urusan harta. Bahwa kesuksesan itu pastilah beraroma kemewahan. Tugas besar itu bisa jadi tampak kecil, remeh, dan sahaja bagi banyak mata, namun kesungguhanmu menjalankannya yang menjadikannya bernilai. Sebab tak perlu menjadi besar bagi berlian tu menjadi berharga, ia cukup kecil saja, yang dibentuk penuh ketekunan.
Ah, maka tergantunglah dari jernihnya cermin hatimu, wahai diri. Adakah kau yakini dirimu berlian, maka kau gosok dirimu hingga berkilau? Atau kau cermati dirimu layaknya batu jalanan, hingga kau biarkan ia tanpa perawatan?

“Kita melihat apa-apa yang kita yakini”

Jumat, 27 Februari 2015

“Ruang-ruang Pembelajaran”

Assalammualaikum wrwb,,,,

Alhamdulillaahi robbil'alamin...pujisyukur kehadirat Allah SWT,,,di jum'at nan barokah ini, saya mencoba menuliskan pesan dari buku #NasehatDiri yang terkadang kalau saya membacanya cukup untuk menasehati diri saya pribadi. Mudah-mudahan isi buku ini bermanfaat untuk diri saya pribadi. Pada pesan yang ke #3 penulis kereen ini mencoba menasehati saya bahwa tidak ada kata sia-sia bagi para pembelajar sejati. Alangkah nikmat nya hidup bagi para pembelajar sejati dan senantiasa mengajarkan kembali kepada orang lain. Ilmu itu adalah harta yang paling berharga lebih dari harta apapun didunia ini. Begitulah saya memahami bahwa ilmu apapun yang kita pelajari apatah lagi bermanfaat bagi orang lain, akan senantiasa kekal dan Inshaa Allah jika diberikan dan diamalkan oleh orang akan menambah pahala kita disisi Allah SWT. Aamiin YaaRobb...semoga dengan tulisan ini membawa pencerahan bagi diri saya sendiri dan juga bagi anda yang membacanya...berikut petikan tulisan nya

“Completion means you know what works. Failure means you know what doesn’t”

Tak ada yang sia-sia bagi para pembelajar sejati. Setiap kejadian selalu menghadirkan yang rugi jika tak dipetik. Penyelesaian, keberhasilan, bukanlah semata sebuah kebanggaan. Bangga tentu. Tapi rasa bangga acapkali tak membuat maju, kecuali jika ditelisik lebih lebih dalam maknanya. Bagi para pembelajar, keberhasilan adalah penanda bahwa yang telah dilakukan adalah sesuatu yang tepat, dan karenanya layak tuk dilanjutkan.
Namun menikmati keberhasilan acapkali lebih mudah daripada kegagalan. Inilah pembeda para pembelajar daripada yang lain. Para pembelajar, begitu cerdik menelisik sesuatu yang disebut sebagai kegagalan, dan selalu meyakini bahwa ada banyak hikmah yang menanti tuk dinikmati. Sebab kegagalan, memang adalah penanda bahwa apa yang telah dijalani tak tepat, dan karenanya mesti segera dipelajari tuk menemukan jalan yang baru. Nah, dititik inilah, kelenturan perasaan diuji. Begitu sering, kita terjebak pada merasa gagal semata, hingga abai pada beragam tanda-tanda. Maka banyaknya pelajaran pun tersia-sia begitu saja. Padahal bangunan keberhasilan, hanya berdiri diatas kumpulan kegagalan.
Maka nikmatilah hidup para pembelajar. Berhasil dan gagalnya adalah serupa saja. Pada keberhasilan, tak terlalu berbangga pada kegagalan, tak berlama sengsara. Ya, sebab dalam keduanya ada kerja besar yang menunggu tuk diselesaikan : menuai hikmah, merapikan pembelajaran, tuk digunakan kemudian.

Selasa, 24 Februari 2015

Beban Ilmu

Alhamdulillaahi robbil'alamiin,,,
Puji syukur kehadirat Allah SWT, masih memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki diri, memperbaiki amal yang Inshaa Allah diberi pahala oleh ALLAH SWT. Dengan niat yang baik Allah akan memberikan ganjaran dengan pahala yang berlipat ganda. Mencoba menghayati perjalanan hidup, saya mencoba menulis kembali #NasehatDiri dengan untaian kalimat yang sederhana ini, saya mencoba mengambil hikmah dari nasehat yang ke #6 pada buku tersebut. "Beban Ilmu" begitulah judulnya. Tidak terasa memang perjalanan hidup kita kadang membawa begitu banyak hikmah dan pelajaran serta pengalaman yang bisa kita pelajari sendiri. Melalui buku ini saya mencoba menulis kembali ke blog saya ini.Mudah-mudahan Allah meridhoi setiap langkah kaki kita dalam mecari ilmu dan mengamalkan nya untuk diri sendiri. 


“Para berilmu tahu benar beban ilmu hingga tak sanggup banyak bicara kala semakin banyak nan dipahami”

Terngianglah sebuah nasihat, “Hak sebuah ilmu adalah diamalkan.” Ah, betapa berat terasa. Sebab, pada segala hak, kan menuntut pertanggungjawaban. Yakni, setiap ilmu yang tak diamalkan, kan jadi penuntut besar di hari akhir nanti.
Tak heranlah, kiranya para berilmu tak banyak bicara. Sebab, ilmu begitu luasnya hingga disadari bahwa demikian banyak yang tak kuasa diamalkan. Banyak bicara hanya akan menjadikan beban bertambah. Tidak saja beban sebab ilmu yang belum diamalkan itu sendiri, dan beban sebab mengatakan sesuatu yang belum diajalankan.
Dalam titik yang mungkin bagi para awam berlebihan, mereka acapkali berkata, “Ah, seandainya aku ditakdirkan menjadi batu saja.” Pada batu tak terdapat akal tuk menelaah ilmu, maka selamatlah ia. Sedang pada manusia, akal memang alat pengantar ke surga, dan pada saat yang sama juga pada siksa.
Maka benarlah tetanda para berilmu adalah ringkasnya bicara, namun mengena. Karena dalam tiap kata, terkandung jutaan makna yang sedemikian dalamnya. Ia menghujam tajam, menerobos kepongahan, dan tak jarang segera hadirkan cahaya hidayah.
Benarlah pula ciri para berilmu adalah keelokan laku. Sebab kerasnya berusahan mengamalkan ilmu, jadikan tiap gerak dan langkah demikian anggun, menggetarkan jiwa. Pada yang demikianlah layak tersemat gelar, “guru sejati, diamnya pun mengajari.”

Minggu, 22 Februari 2015

Belajar Bersyukur

Malam ini...saya mencoba merenungi perjalanan selama lebih kurang 3 tahun, sejak kepergian dari kotaku, menggilitik jari dan perasaan saya tuk menulis kembali pesan dari buku #NasehatDiri karya Teddi P.Y. Dari pesan #53 ini, sambil belajar menulis dan menuangkan pikiran, saya mencoba menyelami makna perjalanan hidup, menasehati diri saya sendiri, tuk belajar bersyukur memang tidak mudah, berikut tulisan kecil ini :

“Tuhan selalu punya cara untuk mengajari kita bersyukur. Salah satunya adalah dengan tidak mengabulkan apa yang kita inginkan”

Apa yang kita inginkan belum tentu apa yang kita butuhkan. Sebab, tabiat keinginan memang berasal dari nafsu yang kala belum terdidik di jalan Tuhan begitu mudah terombang-ambing oleh godaan.
Kebutuhan adalah segala yang benar-benar diperuntukkan bagi perjalanan kita mewujudkan tujuan penciptaan. Sedang keinginan, adalah kelebihan yang diinginkan jiwa sebagai akibat dari persentuhan dengan dunia.
Maka membedakan keinginan dari kebutuhan adalah jalan sejati kebahagiaan. Pada pertemuan keduanyalah, tujuan penciptaan terbentang dihadapan, hingga jiwa tak menatap selain keindahan setiap pengaturan.
Ada kalanya keinginan langsung sejalan dengan kebutuhan, sebab demikianlah adanya Tuhan mengatur. Memang tak butuh sesaat jika Dia hendaki apa pun terjadi. Di masa seperti inilah, jiwa kadang tertipu, menyangka ia miliki kuasa wujudkan keinginan. Jadilah kala apa nan diinginkan tak segera terwujud, ia menggugat, hingga lalai pada berjuta nikmat yang senantiasa hadir tanpa diminta.
Maka jangan heran jika banyak keinginan tak segera dikabulkan. Sungguh, diri ini begitu sering lancang meminta disegerakan, sedang apa yang tak diminta tak kunjung pula disyukuri. Cobalah barang sejenak, wahai diri, hitung berapa banyak udara yang kau hirup hari ini. Bukankah kau seketika sibuk mengagumi dan lupa pada apa yang kau ingini?
Tapi demikianlah Dia. Kasih dan sayang-Nya mendahului murka-Nya. Kelancangan itu tak segera diganjar. Ia hanya berikan kita waktu tuk memahami bahwa setiap nan belum diberi, sejatinya ditunda, atau kan dihadirkan yang lebih baik. Namun suara rintih harap ini begitu merdu bagi-Nya, maka dibiarkanlah ia terus berlangsung, agar jadi penambah hitungan kebajikan pada waktunya kelak.
Sungguh tak ada keuntungan maupun kerugian bagi-Nya, dalam pengabulan ataupun penundaan doa. Keduanya hanyalah jalan yang ia sediakan tuk mematangkan jiwa kita.